Sudah tidak asing lagi
ketika kita mendengar kata ngamen,
karena bukan hanya mendengarnya saja, bahkan hampir setiap hari kita melihat
ataupun menjumpai orang-orang yang ngamen.
Pengamen, itulah sebutan bagi orang-orang yang melakukan aktifitas tersebut.
Bahkan ngamen sekarang sudah menjadi
sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Sekarang pun pekerjaan ngamen tidak mengenal usia lagi, dari
anak kecil yang berumur 5 tahun sampai orang dewasa yang berumur 50 tahun. Jika
dalam agama, mengemis dilarang karena hanya meminta-minta kepada orang lain
tanpa melakukan suatu usaha sebagai timbal balik, tetapi entah dengan ngamen,
karena ngamen yang tujuannya juga
mengharapkan rezeki dari orang lain, tetapi sebagai timbal baliknya, seorang
pengamen menyanyikan lagu-lagu atau menyajikan hiburan kepada orang lain.
Budaya ngamen pun sekarang sudah berkembang.
Memang dilihat dari tujuannya secara umum, ngamen
adalah sebuah pekerjaan yang tentu saja mengharapkan uang. Ada juga sebagian
kecil orang-orang yang ngamen,
hanyalah sebuah hobi untuk menyalurkan bakatnya di depan umum. Selain itu,
budaya ngamen pun berbeda-beda
dilihat dari usia. Bagi kalangan anak kecil usia antara 5 sampai 12 tahun yang
tidak terlalu mendominasi (hanya 15-25%), mereka yang belum terlalu bisa
berpikir, kebanyakan mereka ngamen
karena disuruh orang tertentu. Bagi kalangan dewasa usia 30 sampai 50 tahun
yang juga tidak terlalu mendominasi (15-25%), mereka sudah mampu berpikir
dewasa. Mereka pun sudah mempunyai tujuan yang jelas sebagai seorang pengamen,
yaitu untuk mendapatkan uang. Dan yang membedakan dengan kalangan anak muda
adalah dari segi cara mereka ngamen.
Bagi mereka umumnya, ngamen tidaklah
sembarangan, mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan agar dapat menghibur
orang-orang, sehingga orang-orang tersebut merasa terhibur dan empati, sehingga
dapat memberikan sedikit rezekinya. Hal lain yang membedakan kalangan ini
dengan kalangan anak muda pun, mereka sudah mampu mengontrol emosinya, menjaga
etika dan moralnya walaupun sebagai seorang pengamen.
Selanjutnya adalah
permasalahan yang umumnya adalah di kalangan anak muda, karena kebanyakan anak
muda, pemikirannya pun bisa belum berpikir secara jernih, dan masih belum
sepenuhnya menguasai emosi, moral dan etikanya. Sedangkan pekerjaan ngamen kebanyakan dari kalangan anak
muda usia 16 sampai 29 tahun (sekitar 50-70%). Jika kita berada di luar, di
warung-warung kecil, rumah makan, warkop atau
di warnet, kebanyakan kita melihat
pengamen pada usia yang tergolong kalangan anak muda. Mereka ngamen pun kebanyakan untuk mencari
uang, karena adanya faktor-faktor lain sehingga mereka belum bisa mendapatkan
pekerjaan yang lain. Permasalahannya sekarang adalah budaya ngamen di kalangan ini. Mereka cenderung
berpikir bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan timbal
balik atas yang mereka berikan dari ngamen,
yang penting mereka dapat menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
Budaya ini dapat kita
lihat dalam kehidupan sehari-hari. Jika di kalangan anak kecil, mereka
menyanyikan lagu-lagu sebisa mereka saja, walaupun tidak terlalu menghibur, dan
setelah mereka ngamen, mereka hanya
berkata “Kak!”, “Buk!”, atau “Pak!”, sambil berharap akan ada yang memberikan
uang kepada mereka, dan setelah itu mereka pergi. Jika di kalangan dewasa,
mereka pun ngamen cenderung mempunyai
cara-cara khusus, seperti membawa alat-alat musik tertentu yang bervariasi,
melakukan pertunjukan di jalanan, dan tanpa berkata untuk meminta uang dari
orang lain, sambil berharap akan ada yang memberikan rezekinya. Tetapi
permasalahannya sekarang adalah di kalangan anak muda. Kebanyakan dari mereka
menyanyikan lagu dengan menggunakan gitar, dengan gaya anak jalanan, dan cara mereka
untuk mendapatkan uang dari orang lain pun bermacam-macam tanpa memperhatikan
etika dan moralnya. Sebagai contoh, ketika mereka sudah menyanyikan lagu,
kata-kata yang mereka keluarkan adalah “Seribu, dua ribunya!”. Secara tidak
langsung, mereka berharap akan diberikan uang minimal seribu rupiah atau dua
ribu rupiah. Itupun, tidak semua dari mereka yang ketika tidak mendapatkan uang
seribu rupiah atau dua ribu rupiah langsung pergi, tetapi ada juga yang masih
menunggu sampai mereka diberikan uang seribu rupiah atau dua ribu rupiah.
Budaya lain dari mereka, misalnya ketika dalam suatu tempat mereka ngamen, tidak ada satu orang pun yang
memberikan uang kepada mereka, mereka akan terus bernyanyi, hingga nada yang
semakin tidak menghibur bahkan meresahkan, sampai ada yang memberi mereka uang.
Apakah cara-cara seperti ini masih bisa disebut ngamen? Budaya seperti ini bahkan lebih cenderung kepada budaya premanisme tapi tidak secara langsung.
Inilah yang perlu diantisipasi lagi oleh kita sebagai masyarakat umum, agar
nantinya para pengamen muda dapat menyadari apa yang mereka lakukan, dan dapat
menjaga moral dan etikanya.
Jangan lupa follow blog ini ya ^_^
Jangan lupa follow blog ini ya ^_^
menurut saya, ngamen itu bukan pekerjaan..tapi karena ingin dapat uang dengan lebih mudah. CMIIW :)
BalasHapusMantap artikelnya gan,,
BalasHapusngamen bukan cuma sekedar pekerjaan tapi bisa karena hoby di musik yang disalurkan untuk menghibur sesama alias sosial,,
lanjut gan bikin artikel lagi donk tentang ngament :)
Jujur saya musisi yg kadang suka ngamen saat" sedang bete dan kepepet wkkakak tentunya dengan sopan dan santun tidak memaksa semangat bro
BalasHapus